Dandim Wonosobo Jadi Pimpinan Ziarah Dalam Rangka Hari Jadi Wonosobo ke 198

Dandim 0707/Wonosobo Letkol Inf Helmy menjadi pimpinan ziarah dalam rangka peringatan hari Jadi Wonosobo ke 198. Ziarah dibagi dalam 7 rombongan. Untuk Dandim menjadi pimpinan ziarah di Makam KRT Selomanik di Kaliwiro. (18/7/2023)


Sedangkan rombongan yang lain Bupati Wonosobo ke Makam KH. Muntaha Al Hafidz di Deroduwur Mojotengah, Wakil Bupati ke Makam KRT Mangun Kusumo di Ketinggring Kalianget Wonosobo, Sekda ke makam KRT Jogonegoro Desa Kuncen Selomerto, Kajari ke makam KRT Tjokrohadisoerjo di Ketinggring Kalianget Wonosobo, Ketua DPRD ke makam KH. Asmorosufi di Bendosari Sapuran, dan Kapolres di KH. R. Abdul Fatah di Desa Tegalgot Kecamatan Kepil.

“Sejarah berdirinya kota Wonosobo tidak lepas dari perjuangan mereka dalam merebut dan mempertahankan dari para penjajah khususnya Belanda.  Untuk itu kita sebagai penerus bangsa sudah saatnya mendoakan mereka semoga amal ibadah mereka diterima disisi Allah SWT” kata Dandim.


Kegiatan ziarah ke pendiri – pendiri Wonosobo disamping mendoakan mereka juga mengajak dan mengenalkan generasi muda kepada para leluhur yang telah berjuang dengan jiwa dan raga melawan para penjajah. Dengan mereka mengetahui perjuangan para leluhur akan timbul rasa cinta tanah air. Itu sangat penting bagi generasi muda dalam menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.

KRT Kertowaseso yang terkenal dengan nama KRT Selomanik merupakan seorang pengikut Pangeran Diponegoro yang setia ikut dalam perang gerilya. KRT Kertowaseso adalah seorang Tumenggung di dalam struktur pemerintahan keraton Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada saat dalam intern keraton terjadi kemelut, akibat kebijakan Patih Danurejo yang lebih condong berpihak pada VOC. KRT Kertowaseso menempatkan dirinya pada kubu Pangeran Diponegoro. Kemelut semakin meruncing dengan kesewenang-wenangan VOC/Belanda mencampuri urusan internal keraton, menghentikan aturan sewa tanah para bangsawan kepada pengusaha-pengusaha Belanda, mengenakan pajak tinggi terhadap rakyat. Dan yang terakhir, pembuatan jalan tembus Magelang – Jogja yang melewati dengan membuat patok-patok di atas tanah makam leluhur tanpa seizin pangeran Diponegoro.


Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pengikutnya yang marah kemudian membongkar patok-patok yang melewati makam leluhur Diponegoro. Akibat tindakan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya maka pada tanggal 20 Juli 1825 pada sore hari, VOC dan bala tentaranya menyerbu puri kediaman pangeran Diponegoro. Maka terjadilah peperangan di komplek sekitar puri, sang pangeran beserta prajurit-prajuritnya yang setia berhasil meloloskan diri dari blokade tentara Belanda.

Setelah menyusun kekuatan dari Goa Selarong, Pangeran Diponegoro segera memerintahkan para pengikutnya. Terutama para pangeran yang mahir dan mengetahui ilmu berperang untuk menyebar ke seluruh pedalaman Jawa. Tujuannya untuk menghimpun kekuatan dan menggalang dukungan dari para ulama/kyai di seluruh Jawa agar bangkit melawan kezaliman Belanda. Termasuk diantaranya kepada KRT Kertowaseso. 


Pangeran Diponegoro memerintahkan kepada KRT Kertowaseso untuk menghubungi Kyai Alwi atau Ali sahabatnya ( pada waktu itu orang Jawa biasa memanggil dan menyebut dengan “Kyai Ngalwi” ) di sebuah pesantren di lembah yang sekarang dinamakan Kaliwiro. Kyai Alwi adalah seorang ulama yang diperkirakan berasal dari daerah Jawa Timur. Beliau datang untuk berdakwah mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di daerah ini. Mengenai latar belakang beliau, tidak bisa diketahui secara pasti. Karena memang sangat sedikit, bahkan bisa dikatakan tidak ada sejarah dan literatur yang mengetahui latar belakang sejarah Kyai Alwi. Jejak sejarah Kyai Alwi hanya tertulis sejak beliau berhubungan dengan KRT Kertowaseso.


Dengan segera KRT Kertowaseso berangkat menghubungi Kyai Alwi untuk memberitahukan seruan Diponegoro. Sampai di pesantren Kyai Alwi, KRT Kertowaseso mendapat dukungan untuk menghimpun dan membentuk laskar perang yang terdiri dari santri-santri kyai Alwi. Laskar-laskar ini sangat penting dan strategis untuk menunjang perang semesta rakyat Jawa. Disamping itu KRT Kertowaseso juga menempatkan daerah ini sebagai basis perlawanan dan rute gerilya Diponegoro. Mengingat kondisi alam daerah ini yang berupa hutan lebat berbukit-bukit penuh lembah lembah curam sangat menunjang untuk medan gerilya. Sehingga akhirnya pangeran Diponegoro pun juga bergerilya dan membuat basis perlawanan di daerah ini. Kemudian untuk menjaga eksistensi pesantren dari serbuan tentara Belanda, maka KRT Kertowaseso membuat markas prajurit di sebuah desa di lereng Gunung Lawang.  Mengingat betapa pentingnya peran pesantren dalam pendidikan agama maupun untuk kaderisasi laskar. Maka perlu dihindarkan keterlibatan pesantren dalam konflik secara langsung, di dalam perang melawan Belanda.


Penempatan markas laskar di desa lereng Gunung Lawang ini kemudian menjadikan KRT Kertowaseso terkenal dengan sebutan Ki Ageng Selomanik. Sehingga daerah ini kemudian hari terkenal dan dinamakan Selomanik. Hingga pada akhirnya atas perintah Diponegoro, KRT Kertowaseso membentuk sebuah Kadipaten untuk mempermudah menghimpun laskar rakyat. Dalam perjalanan sejarahnya, Kadipaten Selomanik kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kadipaten Wonosobo.

Pendim0707

Komentar